Gemintang.com – Sekitar abad ke 5 SM, hiduplah dua orang sahabat, Damon dan Phytias. Mereka merupakan murid sahabat sejak kecil dan tak terpisahkan. Ketika beranjak dewasa, berlayarlah mereka ke daerah Siracusa, Italia untuk mengadu nasib. Namun, tak disangka, karena suatu hal Phytias menyinggung penguasa diktator saat itu, Dionisius I. Akibatnya, ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati dalam beberapa hari.
Ketika Damon mendengar kabar itu, segeralah ia menemui pihak berwenang untuk meminta keringanan bagi Phytias. Namun hal itu tidak digubrisnya. Di salah satu perjumpaannya dengan Phytias di penjara, Phytias menyatakan kesedihannya akan ibunya. Ia takut meninggalkan ibunya yang sudah tua tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal. Dengan determinasi kuat, Damon pun kembali menghadap Dionisius untuk meminta ijin menggantikan Phytias supaya Phytias sempat menemui ibunya dan pamit.
Dionisius yang memang sudah mendengar persahabatan Damon dan Phytias, akhirnya mengijinkan mereka bertukar tempat. Namun dengan satu syarat dimana jika Phytias tidak kembali, Damon akan dihukum mati untuk menggantikannya. Phytias sangat terharu mendengar kesediaan sahabatnya dan berjanji akan kembali sebelum waktu penyalibannya (pada waktu itu, hukuman mati adalah dengan disalibkan). Ia pun segera berlayar pulang untuk menemui ibunya.
Setelah menemui ibunya dan pamit pada sang ibu, Phytias pun segera berangkat berjalan kaki ke Siracusa. Tak disangka, di tengah perjalanan ia ditangkap bandit, disiksa dan ditawan. Ia diikat ke pohon. Berjam-jam ia mencoba melepaskan diri. Berlari untuk membayar waktu yang terbuang, akhirnya ia sampai di depan sungai yang beberapa harinya dapat ia sebrangi dengan mudah.
Sayangnya hari itu arus sungai sedang deras. Phytias mengingat Damon yang menggantikannya dan waktu eksekusi yang hanya tinggal beberapa jam saja, langsung melompat ke sungai dan berenang sekuat tenaga sampai ke tepi. Dengan badan penuh luka dan rasa letih yang sangat terasa, Phytias terus berusaha berlari karena matahari hampir terbenam (red: waktu eksekusi).
Sedangkan di Siracusa, Dionisius terus menerus mencemooh ‘kebodohan’ Damon. Dionisius terus menyatakan bahwa Phytias terlalu senang mendapat kebebasan dan tidak akan kembali untuk Damon. Akhirnya, Damon akan mati sia-sia. Namun, Damon berkeras membantah. Ia mengenal Phytias dan yakin Phytias akan memegang janjinya. Waktu eksekusi pun tiba, namun Phytias belum muncul. Dionisius melihat hal ini dan menertawakan Damon. Ia pun segera memerintahkan prajurit untuk mengeluarkannya dari penjara dan mengikatnya ke salib.
Ketika Damon sedang digiring ke salib, ditonton ratusan mata yang mencemooh dan menertawakan, Phytias pun tiba dengan tubuh penuh luka dan peluh. Ia segera berlari menghampiri petugas dan meminta bertukar tempat dengan Damon. Damon yang melihat kondisi sahabatnya bertanya apa yang terjadi dengan Phytias. Dengan terbata-bata dan nafas yang sudah hampir habis, Phytias pun menceritakan pengalamannya. Tidak lupa ia meminta maaf atas keterlambatannya dan menyatakan rasa syukurnya atas kepercayaan Damon. Kedua sahabat itu pun berpelukan dalam tangis.
Dionisius, tiran yang terkenal akan kekejamannya pun tersentuh melihat persahabatan yang begitu kuat. Ia masih tidak percaya masih ada orang yang rela mati bagi sahabatnya. Akhirnya, ia pun membebaskan kedua sahabat itu. Dionisius berkata ia tidak akan percaya kalau tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri. Persahabatan Damon dan Phytias pun menjadi perbincangan yang terus menerus didengungkan.
Sungguh persahabatan sejati yang rela mati bagi sahabatnya. Biarlah kita menjadi seorang sahabat yang benar-benar bisa menjadi seorang saudara dalam kesukaran bagi sahabat kita.
foto: cinema-fanatic.com
(lyd/rut)